Penabalan Sultan Banjar Versi Pemerintah Memicu Polemik

Pelantikan lelawangan LAKPL korwil banjarmasin tahun 2018 di Banjarmasin. (Foto: LAKPL untuk katajari.com)

Katajari.com – H Gusti Rendy Firmansyah, Ketua Umum Lembaga Adat/Pemangku Kerajaan Pulau Laut Borneo Tenggara Pesisir Kalimantan Selatan (Kalsel) menyampaikan tanggapan atas penobatan Sultan Banjar Pangeran Chevi sebagai Sultan Budaya oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon baru baru tadi di Jakarta.

Namun, sebelum memberikan tanggapan, Gusti Rendy — sapaan H Gusti Rendy Firmansyah– mengemukakan bahwa perlu kita pahami dahulu konteks kerajaan, kesultanan dalam kerangka Negara Kesatuan Repubik Indonesia (NKRI)

Sesuai dengan amanat UUD 45 pasal 18.B ayat 2 negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

NKRI juga berdasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan adalah dasar hukum yang mengatur pengelolaan kekayaan budaya Indonesia dan mengidentifikasi berbagai objek kebudayaan yang perlu dipelihara.

Gusti Rendy mengatakan, aspek historis bahwa ratusan tahun sebelum lahirnya NKRI, dahulunya merupakan kumpulan dari banyak kerajaan, kesultanan, kedatuan dan masyarakat adat yang disebut wilayah Nusantara.

“Bersama sama berjuang dalam menghadapi ekspansi kolonialisme penjajah bangsa asing,” imbuhnya, Jumat (9/5/2025).

Kemudian, satu titik bersejarah yaitu proklamasi 17 Agustus 1945 lahirlah NKRI yang seluruh wilayah kerajaan, kesultanan dan kedatuan berdaulat.

“Sehingga Founder Negara Indonesia insinyur Soekarno mengambil semboyan Bhineka Tunggal Ika,” ucapnya.

Sultan Banjar Versi Pemerintahan dan Versi Rakyat

Menanggapi Polemik yang baru baru ini menjadi trending topic bahwa ada penobatan Sultan Banjar Kalimantan di Jakarta, ia menyimpukan artinya ada dua Sultan Banjar dalam konteks pelestarian Budaya saat ini.

Sultan Banjar Pangeran Chevy yang baru dikukuhkan oleh Menteri Kebudayaan di Jakarta dan Sultan Banjar Haji Khairul Saleh yang dilantik melalui prosesi adat oleh Dewan Mahkota Kesultanan Banjar.

Sultan Banjar Haji Khairul Saleh beberapa dekade sudah berkiprah dalam pelestarian budaya sejarah Banjar lebih dahulu.

“Tidak bisa kita pungkiri kasus seperti ini juga banyak terjadi di berbagai daerah kerajaan atau kesultanan di provinsi lain di Indonesia,” kata Gusti Rendy.

Gusti Rendy yang saat ini duduk di Dewan Kepengurusan Pusat Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (DPP FSKN) sebuah organisasi yang menghimpun pemangku adat kerajaan kesultanan di Indonesia, juga sebagai salah satu Penggiat Pelestari Budaya dan Sejarah, sangat menyayangkan ini terjadi sehingga menjadi polemik.

Meski dalam konteks Pelestari Budaya maupun pemangku adat suatu wilayah masyarakat adat, melaksanakan prosesi adat yang dilakukan baik itu untuk penobatan/penabalan seorang Raja/Sultan, seyogyanya tetap memakai tradisi leluhur yang sakral sesuai kearifan lokal wilayah adat masing masing.

Baik itu adanya perangkat adat, dewan adat dan dihadiri masyarakat adat serta dilaksanakan tetap di wilayah di mana adat budaya tersebut berada.

Karena hal tersebut menjadi ciri khas suatu tradisi wilayah adat budaya nusantara yang perlu dilindungi dan dilestarikan sejak zaman leluhur.

“Akan menjadi pertanyaan besar seandainya suatu prosesi adat yang harusnya sakral dilakukan di luar wilayah masyarakat adatnya,” cetusnya.

Trah Garis Lurus Keturunan

Hal tidak kalah penting dan utama adalah apakah seseorang yang ditabalkan/dinobatkan sebagai seorang Raja/Sultan adalah trah garis lurus keturunan atau bangsawan dari garis laki atau garis perempuan?

Menanggapi hal ini Gusti Rendy enggan mengomentari secara spesifik karena terkait silsilah ataupun garis keturunan sesorang yang pantas atau tidak menjadi penerus Raja atau Sultan.

Sebab masing masing pastinya mempunyai catatan ataupun dokumen sejarah menyatakan bahwa dia adalah trah garis keturunan seorang Raja/Sultan.

“Ini dikembalikan kepada kemauan dan kemampuan seorang zuriyat atauketurunan serta dorongan dari tetuha dan tokoh adat mewakili masyarakat adatnya dengan niat dan tujuan murni untuk mengangkat, menjaga dan adat seni budaya serta sejarah agar tidak terkikis habis oleh kemajuan zaman,” paparnya.

Namun menurut dia kerajaan kesultanan dalam konteks NKRI saat ini yang paling penting adalah bagaimana dia (Raja/sultan) mampu mempelopori pelestarian budaya adat seni dan sejarah sebagai salah satu identitas suatu bangsa.

Mengutamakan Kepentingan Rakyat

Harapannya dengan adanya polemik ini Gusti Rendy mengimbau agar mari kita sikapi dengan pikiran jernih dan bijak.

Tugas seorang zuriyat/keturunan adalah tugas berat, seorang Raja/Sultan harus memberi contoh suri tauladan baik bagi masyarakat adatnya, baik tindakan dan tingkah lakunya.

Mengutamakan kepentingan masyarakat adatnya di atas kepentingan pribadi, menjaga marwah nama leluhurnya sebagai cerminan orang yang menjadi panutan dalam konteks menjaga persatuan kesatuan sesama anak bangsa.

Wewenang Lembaga Adat

Salah satu Dewan Musyawarah Adat Lembaga Adat Kerajaan Pulau Laut (DMA LAKPL), yang juga tokoh masyarakat dan sejarawan dari Kabupaten Kotabaru, YM Ir Baharuddin mengungkapkan, ia telah membaca berita pada sebuah media tentang dilantiknya seorang Sultan Banjar untuk kebudayaan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

“Menurut hemat kami pelantikan ini bisa dikatakan menyimpang dari ketentuan,” katanya.

Ditegaskannya, dilantiknya seseorang menjadi raja atau sultan harus sesuai peraturan perundang-undangan berlaku yang namanya lembaga adat.

“Di mana pun di seluruh Indonesia demikian, lembaga adat yang berhak dan berwenang. Kalau seperti ini, dengan melantik sultan atau raja maka kami anggap sesuatu yang menyimpang. Selain lembaga adat tidak jelas, dari sisi kewilayahan ini siapa, di mana?,” terangnya.

Apa yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Menteri Kebudayaan untuk melantik seorang Sultan Banjar sangat bertentangan dengan dengan peraturan perundang-undangan. (kjc)