Film Dokumenter Dirty Vote Menuai Pro Kontra Publik

Film dokumenter Dirty Vote: Sebuah Desain Kecurangan Pemilu 2024. (Foto: Instagram/Dirtyvote)

Katajari.com Film dokumenter yang membongkar praktik kecurangan di Pemilu 2024 Dirty Vote tengah jadi sorotan publik. Film karya dari Dandhy Laksono dkk itu rilis kemarin, Minggu (11/2/2024) dan mendapat pro kontra publik di platform media sosial.

Sejumlah pihak kemudian angkat bicara perihal film dokumenter tersebut. Salah satunya eks anak buah Jokowi, Muhammad Lutfi. Eks Menteri Perdagangan itu membuat konten di Tiktok berisi narasi soal sutradara Dirty Vote, Dandhy Laksono.

“Dirty Vote: Dokumenter Aktivis atau Kampanye Terselubung?” tulis narasi pada video unggahan M Lutfi tersebut, Senin (12/2).

Dalam video, M Lutfi mengatakan bahwa Dandhy seolah-olah memiliki agenda terselubung di film terbarunya itu. Lutfi kemudian mengatakan soal film Dandhy yang lain yakni Rayuan Pulau Palsu.

Lutfi mengatakan bahwa film Rayuan Pulau Palsu itu berisi kritik keras soal reklamasi namun justru yang dikritiknya yang menjalankannya. Saat Lutfi berbicara itu, background belakangnya menampilkan wajah Anies Baswedan.

Lutfi kemudian berlanjut pada film Dandhy yang lain yakni Sexy Killer. Menurutnya film itu juga bertujuan untuk menyerang Jokowi.

“Tapi apa dampaknya? Dandhy mencoba ridding wave kasus 212 dengan Rayuan Pulau Palsu dan lagi-lagi menyerang pak Jokowi lewat Sexy Killer. Tapi bukan kritik yang membangun tapi malah opini yang dipaksakan,” ujar Lutfi.

Lebih lanjut kata M Lutfi, Dirty Vote bukan film dokumenter tapi lebih mirip kampanye terselubung.

“Kelihatannya. Bukti menunjukkan jelas elemen film ini mulai dari krunya hingga sutradaranya terang-terangan mendukung capres lain,”

“Berlagak sebagai aktivis yang ingin bicara tentang negara, padahal mereka mendukung paslon tertentu. Ini bukan pendidikan melainkan propaganda terang-terangan untuk menjelekkan nama presiden kita,” sambungnya.

Diketahui, film dokumenter eksplanatori Dirty Vote yang digarap oleh sutradara Dandhy Dwi Laksono resmi dirilis Minggu (11/2/2024).

Dalam film tersebut, tiga pakar hukum tata negara Zainal Arifin, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari menguliti bagaimana berbagai instrumen kekuasaan digunakan untuk tujuan memenangkan Pemilu sekalipun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi.

Penggunaan kekuasaan yang kuat dengan infrastruktur yang mumpuni diterangkannya telah dilakukan penguasa demi mempertahankan status quo.

Dalam film dokumenter berdurasi 1 jam 57 menit itu, Feri Amsari salah satunya menyinggung soal kinerja Bawaslu RI yang dinilai kurang maksimal menindak pelanggaran pemilu.

Mulai dari menteri-menteri Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang terlibat mengkampanyekan pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo-Gibran, kegiatan Gibran bagi-bagi susu di area car free day atau CFD Bundaran HI, hingga pertemuan Gibran dengan sejumlah kepala desa di Istora Senayan.

Feri juga turut menyinggung integritas para ketua dan anggota Bawaslu RI. Di mana mereka diseleksi oleh panitia seleksi yang diketuai Juri Ardiantoro yang kekinian menjabat sebagai Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran. (suara.com/kjc)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *