Pameran Pakaian Tradisional Kalimantan Selatan Tahun 2022 di Museum Lambung Mangkurat

Pakaian adat Kalimantan Selatan. (Foto: Hatma.net)
Pakaian adat Kalimantan Selatan. (Foto: Hatma.net)

Katajari.com Museum Lambung Mangkurat melalui Pameran Pakaian Tradisional Kalimantan Selatan Tahun 2022, berupaya melakukan pewariskan nilai budaya agar dapat terus lestari, memperkaya, dan mewarnai kebudayaan nasional yang beraneka ragam.

Menampilkan koleksi Kain Kulit Kayu, Tenun Sungai Tabukan, Tenun Bugis Pagatan, Tenun Mandar Tanjung Selayar dan Sasirangan yang memfokuskan pada bahan, jenis dan fungsi.

Semua itu erat hubungannya dengan budaya Kalimantan Selatan yang berkembang dinamis dari masa kemasa, dengan judul “BUSANA BUMI LAMBUNG MANGKURAT.”

Pembukaan Pameran Temporer 3. (Foto: Museum Lambung Mangkurat)

Pakaian termasuk kebutuhan primer manusia yang secara biologis mempunyai fungsi untuk melindungi tubuh dari cuaca, sinar matahari, debu dan gangguan binatang serta menutupi atau menyamarkan kekurangan pemakainya.

Cara berpakaian merupakan cerminan yang dapat memperlihatkan seseorang dengan berbagai hal tentang siapa dirinya, seperti status sosial, kepribadian, eksistensi diri, tujuan, aspirasi dan aspek psikologis.

Pengaruh sistematik dari pakaian dengan proses psikologis pemakainya bergantung pada makna simbolis dan pengalaman fisik saat menggunakan suatu pakaian.

Setiap jenis pakaian yang sudah ditradisikan mempunyai fungsi sendiri-sendiri, sesuai dengan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya.

Aspek-aspek nilai budaya itu berkaitan pula dengan hal-hal lain seperti ekonomi, sosial, politik, agama, dan kepercayaan. Pemahaman tersebut tertuang dalam berbagai ornamen ataupun ragam hias pakaian tradisional.

Lintasan Sejarah Busana Bumi Lambung Mangkurat

Pakaian tradisional adalah jenis busana yang mencerminkan nilai-nilai budaya daerah, yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional.

Seni berbusana di Bumi Lambung Mangkurat  diperkirakan sudah ada sejak berdirinya Kerajaan Negara Dipa, sekitar abad ke-14.

Naskah Tutur Candi menyebutkan, “Mula-mula kapas digawi urang wan nitu tapih pitung warna ada yang manggiling ada yang mahambat wan ada yang manggantih wan manisi wan manyikat wan yang maawiludar wan mahani lawan mananun, maka tuntung wayahnya sahari itu jua maulah”.

Catatan ini merupakan awal perkembangan kain sebagai bahan dasar pakaian untuk memenuhi kebutuhan upacara.

Zaman dahulu busana yang berkembang terkait dengan golongan, kedudukan, usia dan juga keperluan serta bila mana harus dipakai.

Fase selanjutnya cara berbusana  mengikuti pekembangan tren dan mode sampai hari ini. Ada 3 (tiga) faktor mendasar yang mempengaruhi perkembangan seni berbusana di Kalimantan Selatan:

Berkembangnya agama Islam

Berakhirnya Kerajaan Banjar/hapusnya kesultanan dan keraton, dan;

Pengaruh bangsa lain, terutama budaya Barat.

Pengaruh ini sulit dielakkan karena tata busana, penampilan/terutama pakaian mencerminkan tingkat kebudayaan.

Bahan, jenis dan fungsi busana memiliki latar belakang yang sangat beragam. Pengunaan busana untuk sehari-hari, upacara adat, perkawinan dan keagamaan, bagi masyarakat Banjar banyak dipengaruhi agama Islam.

Bagi masyarakat Dayak cara berpakaian disesuaikan dengan keadaan lingkungan, ritus dan tradisi upacara keagamaan.

Sedangkan masyarakat pendatang suku Bugis Pagatan dan suku Mandar Tanjung Selayar mempertahankan tradisi dari daerah asal.

Semua itu mendorong terciptanya kreatifitas baru dari bentuk, corak, warna, motif serta desain.

Namun, setelah dihapuskannya kerajaan Banjar di tahun 1860, maka tata cara berpakaian atau berbusana dalam masyarakat Kalimantan Selatan tidak ditentukan lagi.

Adat istiadat dan tata krama hanya dipergunakan di kalangan terbatas. Menjadikan seni berbusana lebih banyak meniru pendatang atau bangsa lain yang dianggap praktis, sesuai selera dan kemampuan keuangan.

Menyaksikan Pameran Pakaian Tradisional Kalimantan Selatan Tahun 2022 di Museum Lambung Mangkurat. (Foto: Museum Lambung Mangkurat)

KAIN KULIT KAYU

Tradisi ini masih dilakukan masyarakat Dayak Deah Desa Pangelak Kecamatan Upau Kabupaten Tabalong dan Dayak Deah Gunung Riut Kecamatan Halong Kabupaten Balangan.

Kain ini yang paling tua dibuat oleh manusia. Diperoleh dengan cara mengambil lapisan berserat dari kulit luar pohon, yang kemudian dimasak dan dibungkus dengan daun-daunan.

Kulit kayu yang telah terbungkus tersebut, dibiarkan selama satu sampai tiga malam hingga betul-betul lembut siap untuk diolah.

Selanjutnya, dilakukan pemukulan pada batang kayu, guna meratakan lembaran kulit kayu dan terus ditambahkan hingga diperoleh lembaran kain sesuai ukuran yang diinginkan.

Pengunaannya banyak dipakai untuk busana penari dalam bentuk baju, celana dan ikat kepala serta busana adat atau upacara.

KAIN SASIRANGAN

Secara historis pembuatan sasirangan hanya untuk keperluan “tatamba” (Banjar).

Menurut mitos yang berkembang, kain tradisional ini pada awalnya dikenal dengan nama kain “langgundi”, yaitu kain tenun berwarna kuning. Pada perkembangan selanjutnya kain langgundi ini tidak dikenakannya lagi sebagai pakaian harian di masyarakat.

Kain ini hanya dipergunakan sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan alternatif, maka kain langgundi lebih dikenal sebagai kain sasirangan.

Pengertian sasirangan secara tehnik adalah sejenis kain yang dibuat dengan caranya menghias kain putih, menjahit jelujur mengikuti desain. Lalu ditarik, diikat kencang, kemudian dicelup dan motif terbentuk setelah benang dilepaskan.

Teknik ini merupakan kelompok tekstil celup rintang warna, yang digunakan untuk membuat motif. Kain ini merupakan sejenis batik sandang yang juga disebut dengan istilah kain calapan atau celupan.

Diberikan dekorasi tradsional khas Kalimantan Selatan, baik dari segi warna maupun motifnya. Kain sasirangan saat ini banyak digunakan untuk busana kontemporer, sebagai bentuk pelestarian dan pemasyarakatkan tradisi budaya.

KAIN TENUN SUNGAI TABUKAN

Kain tenun Sungai Tabukan merupakan tradisi budaya Kalimantan Selatan  yang masih bertahan di daerah Alabio Hulu Sungai Utara.

Kain ini merupakan kain yang bersifat magis yang diperlukan hanya sebagai pengobatan. Dengan alasan kepercayaan, maka jika ada yang sakit tak kunjung sembuh mereka memesan kain tenun Sungai Tabukan.

Entah karena memang demikian atau kebetulan, maka ketika si sakit dibuatkan kain tenun menjadi sembuh. Berdasakan pengalaman itulah, kepercayaan ini meluas dan berkembang di masyarakat.

Sehingga kain tenun tersebut sering pula disebut sebagai kain “PAPINTAN” atau “PIPINTAN”. Mengandung maksud, kain diolah berdasarkan permintaan/petunjuk sang Dukun yang mengobati penyakit tertentu.

Coraknya biasa dipakai  adalah Sarigading Laki, Sari Gading Bini, Puling, Wadi Waringin, Ramak Sahang, Katutut dan lainnya.

KAIN BUGIS PAGATAN

Kain Bugis Pagatan dibuat dengan teknik tenun Ikat/Bebbe (Bebbe Pasulu dan Bebbe Sau) dan tenun Songket/So’be (So’be Are dan So’be Sumelang) menghasilkan motif-motif khas Pagatan seperti, Pakajucilla, Capu Paranga, Capu Kaluku, Bintang Betaburan dan rantai (Rentete-mannanrang).

Motif khas Pagatan lebih berkonotasi pada lingkungan alam dan pantai, karena umumnya penduduk di sana bekerja sebagai nelayan yang begitu dekat dengan ekosistem laut.

Sebagai sebuah karya seni tenun Pagatan masih bertahan, bahkan berkembang sampai sekarang.

Ada pengrajin yang masih eksis dengan motif aslinya, dan ada pula yang berinovasi.

Motif maupun kegunaan praktis hasil tenun (kain) kini disesuaikan selera pasar, seperti bahan baju, selendang, dasi dan sebagainya. Baik untuk pemakaian sendiri maupun cenderamata.

KAIN TENUN MANDAR TANJUNG PELAYAR

Tradisi tenun Mandar Tanjung Pelayar, tidak berbeda dengan tradisi tenun Mandar Sulawesi Selatan.

Bahkan alat tenun yang digunakan secara umum sama jenisnya dengan peralatan tenun Sungai Tabukan Alabio (Banjar) dan juga alat tenun Bugis Pagatan, hanya beda penyebutannya saja.

Secara teknis proses pembuatannya juga sama dengan kain Bugis Pagatan dengan motif kotak-kotak saja. Tenun yang dihasilkan berupa sarung dengan motif kotak-kotak atau garis silang vertikal dan horizontal yang berpotong sehingga membentuk kotak-kotak.

Hampir semua kain yang dikoleksikan dari tenun Mandar Tanjung Selayar, bahan bakunya dari sutra alam (ulat sutera). Namun disayangkan, tradisi pembuatan kain ini sudah tidak berlangsung lagi di masyarakat.

PAKAIAN KESEHARIAN    

Pakaian yang dikenakan sehari-hari untuk sosialisasi bermasyarakat di lingkungan tempat tinggal.

PAKAIAN KERJA

Pakaian kerja dalam bahasa Banjar disebut pakaian “tilasan bagawi”, yaitu pakaian yang dikenakan dalam rangka kegiatan ekonomi dan industri tradisional seperti ke sawah, ke ladang, menangkap ikan dan pandai besi/emas.

PAKAIAN RITUAL

Pakaian yang digunakan untuk pelaksanaan prosesi upacara tertentu, baik dalam upacara daur hidup maupun upacara lainnya yang berhubungang dengan relegi.

Selain itu pula pakaian ritual digunakan juga untuk pengobatan magis yang dikenakan untuk penyembuhan suatu penyakit.

PAKAIAN KESENIAN

Pakaian yang dikenakan untuk mendukung akraksi dari penampilan seni budaya tradisional Kalimantan Selatan.

PAKAIAN KEKINIAN

Pakaian hasil keratifitas terbaru dari pengembangan motif, bentuk, warna, model dan desain  seuai dengan perkembangan zaman. (Museum Lambung Mangkurat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *