Pura-Pura Bahagia Padahal Tertekan, Mungkin Kamu Alami Duck Syndrome

Ilustrasi duck syndrome. (Foto: Pixabay/Peggy and Marco Lachmann-Anke/Aufahardy)
Ilustrasi duck syndrome. (Foto: Pixabay/Peggy and Marco Lachmann-Anke/Aufahardy)

Katajari.com Kebanyakan orang mungkin tidak mau terlihat sedang sedih di depan kerabat juga keluarganya, sehingga cenderung memaksakan diri untuk pura-pura bahagia meski sebenarnya sedang tertekan.

Namun, saat sudah sendirian, perasaan sedih kembali muncul bahkan hingga menangis tanpa disadari.

Kalau kamu pernah mengalami kondisi tersebut, terlihat bahagia di depan umum padahal sebenarnya sedang tertekan, bisa jadi itu gejala duck syndrome.

Istilah duck syndrome pertama kali muncul di Stanford University, Amerika Serikat. Digunakan untuk menggambarkan kondisi seseorang yang tampak tenang, walaupun sebenarnya mengalami gangguan kecemasan.

Secara spesifik, duck syndrome dianggap menimpa seseorang yang memiliki tekanan untuk terlihat sempurna. Kondisi ini dianalogikan seperti bebek yang sedang berenang.

Sebab saat berenang, bagian atas tubuh bebek akan tampak tenang tetapi sebenarnya sedang mengayuh kakinya dengan cepat untuk bisa tetap di atas air.

Menurut Medicine Net, duck syndrome tidak secara resmi diakui sebagai penyakit mental. Tetapi lebih mengacu pada fenomena yang digunakan untuk mendeskripsikan pelajar atau individu yang beranjak dewasa.

Seseorang yang mengalami duck syndrome akan terlihat tenang dan baik-baik saja, namun sebenarnya sedang mengalami banyak tekanan dan kepanikan untuk mencapai tuntutan hidup.

Misalnya, tuntutan akademik untuk mendapat nilai bagus, pendidikan tinggi, hidup mapan, dan sebagainya.

Penyebab Duck Syndrome

Dikutip dari Ruang Guru, duck syndrome bisa dialami oleh kelompok usia berapa pun. Namun, mereka yang masih usia muda lebih rentan mengalami duck syndrome.

Penyebabnya karena mereka sedang merasakan berbagai pengalaman hidup baru untuk pertama kalinya.

Seperti, jauh dari orangtua, tuntutan akademis yang lebih berat, persaingan yang lebih ketat, dan sebagainya.

Faktor risiko duck syndrome lainnya juga bisa terjadi akibat lingkungan keluarga yang terlalu protektif dan keluarga yang selalu menekankan pada prestasi.

Meskipun tidak secara resmi disebut sebagai gangguan psikologis, duck syndrome pada akhirnya bisa menyebabkan gangguan mental tertentu, seperti depresi, gangguan cemas, atau penyakit mental lainnya.

Ciri-Ciri Duck Syndrome

Diagnosis atau tanda dari duck syndrome sebetulnya tidak jelas dan mirip dengan gangguan psikologis seperti depresi atau gangguan kecemasan. Namun, ada beberapa gejala yang sering digambarkan dalam fenomena duck syndrome, seperti:

  • Selalu memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja dan bahagia, namun panik secara diam-diam.
  • Merasa gagal untuk memenuhi tuntutan berlebihan yang diberikan kepadanya.
  • Merasa orang lain bernasib lebih baik dari dirinya sendiri.
  • Membandingkan diri dengan orang lain.
  • Merasa diamati oleh orang lain
  • Susah tidur, pusing, dan sulit konsentrasi.

Cara Mengatasi Duck Syndrome

Untuk mengatasi duck syndrome, perlu ada diagnosa terlebih dahulu. Seseorang yang mengalami duck syndrome juga bisa diakibatkan dengan adanya gangguan psikologis lain, sehingga sebaiknya mencari diagnosis resmi dari psikolog.

Apabila tanda duck syndrome diabaikan atau disepelekan, gangguan itu bisa membuat penderitanya mengalami depresi berat hingga keinginan untuk bunuh diri.

Cara paling tepat untuk mengatasi duck syndrome adalah dengan berkonsultasi kepada dokter kejiwaan, psikolog, maupun psikiater untuk mendapatkan penilaian medis menyeluruh, serta evaluasi kesehatan mental yang komprehensif.

Kombinasi psikoterapi dan obat-obatan bisa menjadi solusi untuk mengatasi depresi atau kecemasan dan mengurangi duck syndrome. (suara.com)

Tinggalkan Balasan